Wednesday, April 26, 2006

Teh hijau, kopi dan cafein menurunkan risiko diabetes tipe 2

Ann Intern Med. 18 April 2006, Volume 144 Issue 8, Pages 554-562. © 2006
American College of Physicians - American Society of Internal Medicine. The
Relationship between Green Tea and Total Caffeine Intake and Risk for
Self-Reported Type 2 Diabetes among Japanese Adults, Hiroyasu Iso, MD;
Chigusa Date, PhD; Kenji Wakai, MD; Mitsuru Fukui, PhD; Akiko Tamakoshi, MD,
and the JACC Study Group.

Para peneliti di Jepang meneliti hubungan konsumsi kopi, teh hijau, teh
hitam dan teh oolong terhadap diabetes tipe 2. Desain penelitian kohort
retrospektif, dilakukan pada 25 komunitas di Jepang melibatkan 17.413 subyek
(6727 pria dan 10.686 wanita) berusia 40-65 tahun, yang tidak punya riwayat
diabetes, penyakit kardiovaskuler, atau kanker pada awal penelitian, dan
di-follow up selama 5 tahun.

Setelah 5 tahun, terjadi 444 kasus diabetes self reported pada 231 pria dan
213 wanita (5-year event rates, masing-masing 3,4% dan 2,0%). Konsumsi teh
hijau dan kopi berhubungan terbalik dengan risiko diabetes. Risiko diabetes
untuk orang yang sering minum teh hijau dan kopi (6 cangkir teh hijau
perhari dan 3 cangkir kopi perhari) adalah 0,67 dan 0,58, dibanding orang
yang minum kurang dari 1 cangkir per minggu. Untuk teh hitam dan teh oolong
tidak diperoleh hubungan dengan diabetes. Asupan kafein total dari minuman
tersebut menurunkan risiko diabetes sebanyak 33%. Manfaatnya lebih kuat pada
wanita dan pada pria yang overweight.

Kesimpulannya konsumsi kafein yang terdapat dalam teh hijau dan kopi dapat
menurunkan risiko terjadinya diabetes tipe 2. Nasihat untuk pasien yang
berisiko diabetes tipe 2, dianjurkan mengkonsumsi kafein yang berasal dari
teh hijau atau kopi.

Saturday, April 22, 2006

Diet Atkins

Seringkali pasien bertanya tentang diet Atkins, tiger diet, diet protein. Diet apakah itu? Bermanfaatkah (atau berbahayakah)? Demikianlah penjelasan saya.

Diet rendah karbohidrat yang telah lama dikenal, kembali dipopulerkan oleh Dr. Atkins dalam 30 tahun terakhir melalui bukunya ‘Dr Atkins New Diet Revolution’. Diet ini menganjurkan pengikutnya untuk menghindari karbohidrat karena karbohidrat dianggap menyebabkan kenaikan kadar gula darah sehingga meningkatkan produksi insulin. Insulin yang berlebihan menyebabkan tubuh menyimpan karbohidrat dalam bentuk lemak.
Namun produksi insulin sebenarnya tidak disebabkan oleh konsumsi karbohidrat saja, tapi oleh konsumsi energi (dalam bentuk makanan dan minuman) yang berlebihan. Pada keadaan berat badan lebih (overweight) terjadi peningkatan kadar insulin.
Karena diet sangat rendah karbohidrat maka tubuh dapat berada dalam keadaan ketosis (dimana tubuh memecah lemak menjadi keton untuk digunakan sebagai sumber energi pengganti karbohidrat). Dalam diet Atkins fase awal memang akan terjadi ketosis, sehingga terjadi pemecahan lemak tubuh diikuti penurunan berat badan.
Tubuh manusia memang punya kemampuan untuk mengalami ketosis dalam keadaan tertentu. Tapi ketosis yang berkepanjangan tidak dianjurkan karena dapat mengganggu kesehatan.

Bagaimanakah cara menjalankan diet Atkins ?
Diet Atkins menganjurkan konsumsi protein dan lemak namun menghindari karbohidrat. Konsumsi daging, telur, ikan, keju, diperbolehkan bahkan jumlahnya dibebaskan. Sedangkan nasi, roti, mie, kentang, dan sumber karbohidrat lainnya harus dihindari.
Pada fase awal akan terjadi penurunan berat badan yang cepat karena terjadi ketosis. Dalam keadaan ketosis tubuh membuang banyak cairan melalui urin.

Pandangan dari sudut medis
Beberapa penelitian tentang diet Atkins menunjukkan hasil positif pada awalnya, namun dalam jangka panjang terjadi kenaikan berat badan lagi karena diet ini sulit dipatuhi. Namun karena penelitian yang dilakukan hanya melibatkan sedikit subyek, maka diperlukan penelitian yang lebih besar untuk memperoleh kesimpulan yang lebih berbobot.
Secara medis menghindari suatu nutrien (dalam hal ini karbohidrat) dapat mengganggu kesehatan. Karbohidrat adalah sumber energi, sehingga menghindari karbohidrat dapat menyebabkan tubuh kurang energi menimbulkan rasa kelelahan, fatigue. Menghindari karbohidrat menyebabkan diet kurang serat sehingga dapat menyebabkan konstipasi dan sebagainya. Diet Atkins menganjurkan penggunaan laksansia untuk mengatasi konstipasi, suatu hal yang sia-sia dan bisa membahayakan kesehatan saluran cerna. Menghindari buah dan sayuran (keduanya adalah karbohidrat) menyebabkan asupan vitamin, mineral dan anti-oksidan alami tidak terpenuhi.
Karbohidrat mengandung berbagai zat esensial yang diperlukan untuk menjaga kesehatan tubuh.

Wortel, tomat dan sayuran hijau mencegah serangan asma

Ternyata wortel, tomat dan sayuran hijau juga dapat mencegah serangan asma. Sebuah penelitian yang dilakukan di Perancis membuktikan hal ini.

Thorax 2006;61:209-215 6 March 2006 © 2006 BMJ Publishing Group Ltd & British Thoracic Society. Fruit and vegetable intakes and asthma in the E3N study, I Romieu, R Varraso, V Avene, B Leynaert et al.
Untuk mengetahui pengaruh makanan terhadap prevalensi asma pada orang dewasa, di Perancis dilakukan survei terhadap 68.535 perempuan menggunakan food frequency questionnaire yang mencakup 238 item bahan makanan. Sebanyak 2.145 responden adalah penderita asma.
Setelah adjustment terhadap usia, IMT, status menopause, status perokok, asupan kalori total, aktivitas fisik, dan pemakaian suplementasi makanan lainnya, disimpulkan bahwa pada kelompok yang lebih banyak makan tomat, wortel dan sayuran berdaun, prevalensi asma-nya lebih rendah. Buah dan sayuran lain tidak berhubungan signifikan terhadap prevalensi asma.
Penelitian ini membuktikan bahwa asupan wortel, tomat, dan sayuran hijau setiap hari dapat menurunkan prevalensi asma pada orang dewasa.

Wednesday, April 12, 2006

Vitamin C mencegah common cold

European Journal of Clinical Nutrition (2006) 60, 9–17. January 2006. doi:10.1038/sj.ejcn.1602261. © 2006 Nature Publishing GroupEffect of vitamin C on common cold: randomized controlled trial, S Sasazuki, S Sasaki, Y Tsubono, S Okubo, M Hayashi and S Tsugane.

To investigate the relationship between the common cold and vitamin C supplementation, Japanese researchers carried out a double-blind, 5-year randomized controlled trial in a village in Akita prefecture, one of the regions in Japan with the highest mortality from gastric cancer. Participants were those involved in annual screening programs for circulatory diseases conducted under the National Health and Welfare Services Law for the Aged, and diagnosed as having atrophic gastritis. Of the 439 eligible subjects, 144 and 161 were assigned to receive 50 or 500 mg of vitamin C, respectively, after protocol amendment. During the supplementation phase, 61 dropped out, and 244 completed the trial.They found that the total number of common colds (per 1000 person-months) was 21.3 and 17.1 for the low- and high-dose groups, respectively. After adjustment for several factors, the relative risks of suffering from a common cold three or more times during the survey period was 0.34 for the high-dose group. No apparent reduction was seen for the severity and duration of the common cold.

Penelitian RCT selama 5 tahun membuktikan bahwa suplementasi vitamin C dapat mengurangi frekuensi common cold, meskipun tidak mempengaruhi durasi dan beratnya penyakit.

Tuesday, April 11, 2006

Antibiotika meningkatkan risiko asma

Chest. 2006;129:610-618. March 2006. © 2006 American College of Chest Physicians.
Does Antibiotic Exposure During Infancy Lead to Development of Asthma? A Systematic Review and Metaanalysis, Fawziah Marra, PharmD; Larry Lynd, BSP, PhD; Megan Coombes, MSc; Kathryn Richardson, MSc; Michael Legal, PharmD; J. Mark FitzGerald, MB, MD and Carlo A. Marra, PharmD, PhD. Correspondence to Carlo A. Marra, PharmD, PhD

To determine the association between antibiotic exposure in the first year of life and the development of childhood asthma, University of British Columbia researchers carried out a meta-analysis of observational studies retrieved through systematic search of all available electronic data sources. Studies included in the meta-analyses were those with populations exposed to one or more courses of antibiotics during the first year of life, and asthma diagnosis was defined as diagnosis by a physician between the age of 1 to 18 years. Retrospective and prospective studies published in the English-language literature from 1966 to present were included.

They found that 8 studies (four prospective and four retrospective) examined the association between exposure to at least one course of antibiotics and development of childhood asthma. The total number of subjects for the analysis comparing exposure to at least one antibiotic to no exposure in the first year of life was 12,082 children and 1,817 asthma cases. In the dose-response analysis, we included data from a total of 27,167 children and 3,392 asthma cases. The pooled odds ratio (OR) for the eight studies was 2.05. The association was significantly stronger in the retrospective studies (OR, 2.82) than the prospective studies (OR, 1.12). Five of the eight studies examined whether the association was related to the number of courses of antibiotics taken in the first year of life. The overall OR for the dose-response analysis was 1.16 for each additional course of antibiotics; however, this association was not significantly stronger in the retrospective studies (OR, 1.37) relative to the prospective studies (OR, 1.07).

Penelitian ini membuktikan bahwa pemberian antibiotika pada bayi merupakan faktor risiko untuk timbulnya asma pada anak2. Namun karena keterbatasan data, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengkonfirmasi temuan ini.

Sunday, April 9, 2006

Kedele mengurangi risiko patah tulang

Prospective Cohort Study of Soy Food Consumption and Risk of Bone Fracture Among Postmenopausal Women, Xianglan Zhang, MD, MPH; Xiao-Ou Shu, MD, PhD; Honglan Li, MD; Gong Yang, MD, MPH; Qi Li, MS, MD; Yu-Tang Gao, MD; Wei Zheng, MD, PhD
Arch Intern Med. 2005;165:1890-1895. September 12, 2005. © 2005 American Medical Association.

Penelitian kohort prospektif ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsumsi kedele (soy food) dengan risiko patah tulang pada wanita pasca menopause.
Penelitian ini berlangsung di Cina dari tahun 1997 sampai 2000, melibatkan 75.000 wanita pasca menopause, berusia 40-70 tahun, yang tidak menderita keganasan maupun riwayat patah tulang sebelumnya.
Hasil penelitian mendapatkan risiko relatif (RR) patah tulang adalah 1.00, 0.72, 0.69, 0.64, dan 0.63 sesuai kuintil (quintiles) asupan protein kedele (P<0.001 for trend). Jadi semakin tinggi asupan kedele semakin kecil risiko patah tulang dan sebaliknya.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa asupan produk kedele terbukti dapat mengurangi risiko patah tulang pada wanita pasca-menopause, terutama pada tahun-tahun awal pasca menopause.